|
Ilustrasi: Batu Malin Kundang Si Anak Durhaka |
Di sebuah pedesaan terdapat sebuah keluarga yang kaya raya. Keluarga itu dipimpin oleh seorang laki-laki bijaksana yang murah hati. Maka keluarga yang dikauruani dua anak itu menjadi makmur. Tidak hanya itu, para pembantu dan pekerjanya, yang mengurus lahan pertanian, perkebunan dan peternakan mereka, juga digaji dengan sangat cukup. Sang ayah sangat mengasihi kedua anaknya, dan mengabulkan semua permintaan anaknya yang didasari keinginan untuk mendapatkan kebaikan.
Namun suatu ketika, si bungsu, yang agak pemalas dan lebih senang bermain-main dengan teman-temannya, menghadap ayahnya.
“Ayah, saya sadar keluarga kita ini sudah makmur. Semuanya serba kecukupan. Namun sebenarnya ada satu yang masih kurang.”
“Katakan anakku, apa yang masih belum kita miliki,” kata ayahnya sambil mencoba memahami keinginan anaknya.
“Saya ingin hidup di kota, ayah.”
“Pergilah ke kota. Mobil sudah siap. Untuk uang saku, nanti bisa ditambah.”
“Bukan itu ayah. … Saya ingin meminta bagian saya, untuk modal hidup di kota.”
Mendengar perkataan itu, sedihlah hati laki-laki itu. Ia kemudian minta waktu satu malam untuk mendiskusikannya dengan istrinya.
Pagi hari berikutnya, laki-laki itu memanggil anak bungsunya.
“Baiklah anakku, kamu akan mendapat apa yang kamu minta. Ibumu sedang mengemasi harta benda sebagai bekal untukmu. Dan mobil yang terbaru itu boleh kamu bawa.” Laki-laki itu membuat keputusan demikian karena ia enggan berselisih paham dengan anaknya. Dan hari itu juga si bungsu meninggalkan rumah itu.
Si bungsu ini kemudian berpesta-pesta di kota. Karena harta benda yang ia bawa banyak, ia memperhitungkan bisa hidup berfoya-foya selama lima tahun. Tiap hari pekerjaannya hanya makan dan berjudi. Kalau tidur, ia selalu ditemani wanita panggilan.
Waktu terus berlalu. Untuk sementara waktu, kekayaannya relatif tetap karena ia sering menang judi. Namun aktifitasnya dalama berpesta juga semakin kebablasan. Ia juga tidur dengan wanita-wanita panggilan dengan tarif yang mahal.
Dan saat untuk perubahan pun datang. Atas desakan masyarakat, pemerintah melarang semua aktifitas perjudian. Namun karena berjudi merupakan sumber penghasilannya, si bungsu ini tetap melakukan pekerjaan tersebut. Sampai akhirnya ia tertangkap. Dengan segenap kekayaan yang dimiliki, ia berusaha lolos dari jeratan hukum. Namun sayang, keputusan hakim tetap memaksanya untuk masuk penjara, meski hanya satu bulan karena ada potongan masa tahanan. Sebelum dipindah ke lembaga pemasyarakatan, ia meminjamkan mobilnya kepada seorang temannya.
Sebulan kemudian ia keluar dari penjara. Ia datang kepada temannya yang membawa mobilnya. Namun ia mendapati kendaraannya itu dalam keadaan buruk, karena terlibat kecelakaan lalu-lintas. Dengan sisa kekayaan yang dimiliki, ia memperbaiki kendaraan itu, dan menawarkannya sebagai kendaraan carteran, sebagai penunjang hidup.
Namun hidup tidaklah mudah. Tidak setiap hari ada penyewa yang datang padanya. Ia pun harus berhemat. Di sela waktu senggangnya, ia teringat pada keluarganya di pedesaan. Meski di desa, mereka hidupnya sangat kecukupan. Bahkan para pembantu dan pekerja pun digaji dengan sangat cukup, sehingga banyak tetangga yang ingin bekerja kepada orang tuanya. Namun di sini, si bungsu ini harus menahan lapar, makan satu kali sehari, agar tetap bisa membeli bensin untuk menjalankan kendaraannya. Padahal keempat ban mobil itu sudah menipis.
Anak bungsu ini kemudian memutuskan untuk pulang dan minta pekerjaan sebagai sopir keluarga. Ia kemudian pulang.
Ayahnya sedang duduk di depan rumah, ketika si bungsu pulang dengan membawa mobilnya. Melihat anak bungsunya pulang, laki-laki itu segera berlari menghampiri.
Anak itu kemudian bersujud pada kaki laki-laki itu sambil berkata, “Ayah, maafkan aku karena semua kelancanganku. Aku sudah tak layak lagi menjadi anak Ayah. Karena itu jadikan aku sebagai upahan Ayah, menjadi sopir pribadi.”
“Tidak anakku. Engkau tetap anakku. Apa pun yang sudah kamu lakukan, Engkau tetap anakku.”
Laki-laki itu kemudian menyuruh pembantu-pembantunya untuk mengurus anak bungsunya. Mereka kemudian berpesta merayakan kembalinya si bungsu.
Sore harinya, si sulung pulang dari ladang. Dari kejauhan ia mendengar bunyi lagu-lagu dengan nuansa pesta. Ia kemudian bertanya kepada seorang pembantu yang berpapasan dengannya. Pembantu itu mengatakan bahwa ayahnya memestakan adiknya yang sudah pulang. Anak sulung itu kemudian menolak untuk pulang. Malam harinya, ayahnya menemui si sulung.
“Ayah, mengapa Engkau berpesta hanya untuk dia yang sudah menghambur-hamburkan uang ayah? Mengapa Engka tak pernah berpesta untuk aku?”
“Anakku, ayahmu ini berpesta karena adikmu sudah kembali. Yang mati telah hidup kembali, yang hilang telah ditemukan, yang sesat telah kembali ke jalan yang benar. Dan selama ini kita, Engkau dan Aku selalu bersama. Semua yang kumiliki ini adalah juga milikmu.”
©~~~~~~~~~
Sumber : WIKIMU
URL : www.wikimu.com
Editor : Original Contens
Post : AR
©~~~~~~~~~